aidilfk

olahraga

Jumat, 15 Maret 2013

FILASAFAT OLAHRAGA



      FILSAFAT OLAHRAGA

Dalam berpikir, berbicara dan melaksakan kegiatan olahraga, biasanaya filsafat olahraga jarang sekali dikaitkan dengan pembicaraan, padahal filsafat suatu hal yang menentukan dalam pemikiran dan pelaksanaan kegiatan olahragaitu sendiri, sebelum kita membicrakan maslah filsafat olahraga sebaiknya kita tinjau dulu apa itu filsafat. Secara etimologik filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia,  kata ini terdiri dari kata philen  yang berarti kasih, cinta =   love atau liefda dan shopia berarti kebijakan atau  wisdom, sehingga secara etimologik filsafat adalah cinta kebijakan. sukinta meneyatakan filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang secara mendalam dengan menggunakan akal untuk mencapai hakikat atau esensi (2003).
Dalam berpikir filsafat haruslah mendasar dan memiliki karakteristik, jujun sumantari mengatakan ada 3 hal dalam karakrakteristik (2009) yaitu :
1.      Mendasar
Seorang ilmuan tidak puas lagi memandang ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri
2.      Mendasar
Ilmu filsafat menginginkan tempat berpija yang benar dan kokoh
3.      Spekulasi
Menentukan titik awal dari sebuah titik dalam lingkaran ilmu yang luas.

Karakteristik dari objek studi Ilmu Keolahragaan adalah fenomena gerak manusia, perilaku bergerak memerlukan hubungan koordinasi yang amat komplek, sepat dan halus dari fungsi neuro-fisiologis-anatomis yang menyatu dengan fungsi psikologis  dalam hubungan fungsional yang sangat teratur sesuai dengan ciri-ciri biologis manusia. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik. Arah dan tujuan orang berolahraga termasuk waktu dan lokasi kegiatan dilaksanakan sedemikian beragam. Ini menunjukkan bahwa olahraga merupakan fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekspresi budaya, termasuk dalam hal ini kecenderungan khas ideologi, profesi, organisasi, pendidikan dan sains.

Fungsi Ilmu Keolahragaan adalah mengkaji persoalan berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi dan mengungkapkan pengetahuan sebagai jawabannya secara ilmiah. Berkaitan dengan objek formalnya, maka medan pengkajian Ilmu Keolahragaan mencakup spektrum aktivitas pendidikan jasmani yang cukup luas, yang meliputi: (1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam arti sport) (3) pendidikan jasmani dan kesehatan (physical and health education), (4) rekreasi (recreation and leisure), dan (5) tari (dance)

1.       Bermain
Johan Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling penting, yang merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni, sampai ke hal-hal yang kurang menyenangkan dan kontroversial, seperti perang. Dalam karyanya Homo Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang menjadi tesis antropologis-filsafatinya), Huizinga (1950: 18-21) memaparkan karakteristik bermain sebagai dorongan naluri, aktivitas bebas, dan pada anak merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang amat mendasar yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu luang. Huizinga menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan “nyata” dan kebebasan mewarnai aktivitas tersebut. Namun patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang “tak serius”, tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan (Huizinga, 1950: 21).
Huizinga melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa ada dalam inti kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern (Huizinga, dalam Hyland, 1990: 23). Meskipun “tak serius”, di dalam permainan terdapat nilai pendidikan, sehingga perlu dimanfaatkan sebagai upaya menuju pendewasaan melalui pemberian rangsangan yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental sosial, dan moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang ingin dicapai tersirat di dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas ‘bekerja’ (KDI Keolahragaan, 2000: 9-10).
b. Olahraga (Sport)
Istilah olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga pengetahuannya tidak terbatas pada pengertian sempit olahraga prestasi-kompetitif-elit untuk sementara olahragawan yang pelaksanaannya dikelola secara formal seperti lazim dijumpai pada cabang-cabang olahraga resmi, tetapi juga jenis-jenis aktivitas jasmani lainnya yang bersifat informal.
Olahraga sebagai kata majemuk berasal dari kata olah dan raga. Olah artinya upaya untuk mengubah atau mematangkan, atau upaya untuk menyempurnakan. Bisa juga olah diinterpretasikan sebagai perubahan bunyi istilah ulah, yang berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan raga berarti badan/fisik. Dengan demikian, secara etimologis singkat, olahraga berarti penyempurnaan atau aktivitas fisik. Abdulkadir Ateng (dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45) menganggap rancu jika kata olahraga ini dipadankan dengan kata asing sport. Menurutnya, sport hanya sebagian dari isi pengertian olahraga. Ia berasal dari bahasa Inggris Kuno disportare, yang berarti bersenang-senang [bandingkan dengan Rusli dan Sumardianto (2000: 1) yang berpendapat bahwa istilah sport berasal dari kata disport, dan pertama kali muncul dalam kepustakaan pada tahun 1303 yang berarti “sport, past time, recreation, and pleasure”]. Padanan sport yang lebih mendekati aslinya adalah seperti istilah sukan di Malaysia (Indonesia: bersuka-sukaan) (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45).
Makna istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun esensi pengertiannya mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan kompetisi (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2). Dalam “Declaration of Sport”, UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang menyiratkan betapa luas kemungkinan cakupan makna olahraga:
Olahraga adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri (dalam Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Definisi lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga sebagai aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan selama waktu luang” merupakan interpretasi yang bersifat umum yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi sport for all – olahraga masal - yang dimulai di Eropa tahun 1966, dan 27 tahun kemudian Indonesia mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Berbagai definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu argumentasi yang konsisten. Istilah olahraga yang dipakai sebagai rujukan pengembangan Ilmu Keolahragaan adalah definisi yang bersifat umum, rumusan pedagog asal Jerman, Herbert Haag yang memperoleh pengakuan internasional:
The world sport is not used in the narrow sense of athletics of competitive sport, rather it means the sum of physical activities of formal and informal nature realize mostly in sport discipliness but also in fundamental forms like calisthenics, fitness training, or aerobics (Rusli dan Sumardianto, 2000: 7).
     
Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural, namun masyarakatlah yang kemudian membentuk dan memberi arti terhadapnya. Sesuai dengan fungsi dan tujuannya, olahraga dapat dirinci sebagai berikut.
1. Olahraga pendidikan adalah proses pembinaan menekankan penguasaan keterampilan dan ketangkasan berolahraga termasuk juga pembinaan nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman yang lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke dalam olahraga.
2. Olahraga kesehatan adalah jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan kesehatan dan fitnes yang tercakup dalam konsep well-being melalui kegiatan olahraga.
3. Olahraga rekreatif adalah jenis kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis.
4. Olahraga rehabilitatif adalah jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan yang bersifat terapi atau aspek psikis dari perilaku.
5. Olahraga kompetitif adalah jenis kegiatan olahraga yang menitikberatkan peragaan performa dan pencapaian prestasi maksimal yang biasanya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik nasional maupun internasional (KDI Keolahragaan, 2000: 10-11).
Karena karakteristik olahraga semakin kompleks, selain mengandung muatan bio-psiko-sosio-kutural-antropologis dan juga teknologis (techno-sport) serta respon lingkungan (eco-sport), maka amat sukar menetapkan sebuah batasan. Namun demikian dapat diidentifikasi ciri yang bersifat umum (common denominator) sebagai berikut:
1. olahraga merupakan subsistem dari bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;
2. olahraga berorientasi pada dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan fisik;
3. olahraga merupakan kegiatan riil, bukan ilusi atau imajinasi;
4. olahraga, terutama olahraga kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi sehingga di dalamnya terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai lawan dari faktor untung-untungan sehingga performa itu dicapai melalui usaha pribadi;
5. olahraga berlangsung dalam suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan membangkitkan naluri rendah, bahkan justru membangun solidaritas;
6. olahraga harus bermuara pada upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total (wellness) (KDI Keolahragaan, 2000: 11-12).
Secara khusus dan ontologis, Richard Schacht (1998: 126-127) mengemukakan konsepsinya tentang olahraga yang telah dimodifikasi dari pandangan-pandangan sang filsuf martir, Nietzsche, yang pada bagian ini dapat dijadikan acuan tambahan pengembangan Ilmu Keolahragaan.
1. Olahraga menjadi aktivitas psikosomatik yang lepas dan terbuka di mana pikiran, tubuh, dan perasaan seseorang terlibat secara serempak dalam berolahraga.
2. Olahraga memuat sifat kognitif dan utilitarian meskipun tidak dalam kodrat dasariahnya.
3) Olahraga merupakan satu spesies permainan yang khas dalam hal struktur dan intensitasnya.
4) Olahraga meliputi pengolahan dan pengembangan kecakapan, keahlian, dan sensitivitas mental dan motorik, yang dapat diajarkan dan dipelajari, tetapi tak dapat direduksi pada formula-formula dan aturan-aturan mekanis.
5) Olahraga merupakan bagian fenomena sejarah dan budaya, dan bersifat sosial dan interpersonal.
6) Olahraga berpusat pada suatu jenis kompetisi, yang diilhami semangat “will to power”.
7) Olahraga memiliki kelenturan format perwujudan, namun sekaligus ketertiban tingkat keseriusan.
Hasil investigasi filsafati Scacht ini mengisyaratkan suatu keterbukaan ontologis olahraga, dipandang dari filsafat ilmu. Artinya, ekstensifikasi dan intensifikasi ilmiah dapat terjadi sampai pada interaksi yang bahkan revolutif di tingkat ontologis, misalnya pergeseran objek studi. Apabila di penelitian ini objek studi Ilmu Keolahragaan dibatasi pada fenomena gerak manusia, maka seiring perkembangan teknologi olahraga dalam techno-sport, bisa jadi pengabsahan-pengabsahan permainan yang sangat baru dengan instrumen teknologis sebagai fokusnya, menghasilkan kesepakatan global tentang objek studi Ilmu Keolahragaan yang baru. Objek studi Ilmu Keolahragaan kemudian tidak hanya menyangkut gerak insani, namun juga prestasi piranti teknologi ciptaan “atlet”, seperti yang dapat diamati pada perlombaan “Tamiya” di Indonesia akhir-akhir ini. (Bukankah secara awam dan harfiah, pemaknaan gerak insani tidak tepat bila digunakan pada olahraga catur dan bridge?).
c. Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, 2000: 12).
Perlu ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap jasmani, tetapi pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka menterjemahkannya sebagai berikut.
…proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya (Sukintaka, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Sedangkan dalam kaitannya dengan pendidikan secara nasional, berdasarkan SK Mendikbud 413/U/1987, maka definisi pendidikan jasmani adalah:
…merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional melalui aktivitas fisik (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Pendidikan kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai keterpaduan pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin dicapai adalah kesehatan total, bukan dalam pengertian bebas dari cacat, tetapi sehat fisik, mental, dan sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness. Antara sakit dan sehat bukan sebagai sebuah dikotomi, tetapi sehat bergerak dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi dari pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI Keolahragaan, 2000: 12-13).
d. Rekreasi
Rekreasi adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, bukan aktivitas survival, yang diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani atau kegiatan berolahraga. Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek pemulihan kelelahan, relaksasi, atau penanganan stress untuk menggairahkan hidup agar lebih produktif melalui relativitas energi dalam suasana kehidupan yang riang, tanpa tekanan dan merasa bahagia, di samping memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan, 2000: 13).
e. Tari
Tari menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan, sehingga dari pengungkapan keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga. Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa persyaratan seni atau faktor estetika, meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak sekali dijumpai unsur-unsur seni dan keindahan (KDI Keolahragaan, 2000: 13-14).

2 komentar: