FILSAFAT
OLAHRAGA
Dalam berpikir, berbicara dan melaksakan kegiatan
olahraga, biasanaya filsafat olahraga jarang sekali dikaitkan dengan
pembicaraan, padahal filsafat suatu hal yang menentukan dalam pemikiran dan
pelaksanaan kegiatan olahragaitu sendiri, sebelum kita membicrakan maslah filsafat
olahraga sebaiknya kita tinjau dulu apa itu filsafat. Secara etimologik
filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia,
kata ini terdiri dari kata philen yang berarti kasih, cinta = love atau liefda dan shopia berarti
kebijakan atau wisdom, sehingga secara etimologik filsafat
adalah cinta kebijakan. sukinta meneyatakan filsafat merupakan ilmu pengetahuan
yang menyelidiki segala sesuatu yang secara mendalam dengan menggunakan akal
untuk mencapai hakikat atau esensi (2003).
Dalam berpikir filsafat haruslah mendasar dan
memiliki karakteristik, jujun sumantari mengatakan ada 3 hal dalam
karakrakteristik (2009) yaitu :
1. Mendasar
Seorang ilmuan tidak
puas lagi memandang ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri
2. Mendasar
Ilmu filsafat
menginginkan tempat berpija yang benar dan kokoh
3. Spekulasi
Menentukan titik awal
dari sebuah titik dalam lingkaran ilmu yang luas.
Karakteristik
dari objek studi Ilmu Keolahragaan adalah fenomena gerak manusia,
perilaku bergerak memerlukan hubungan koordinasi yang amat komplek, sepat dan
halus dari fungsi neuro-fisiologis-anatomis
yang menyatu dengan fungsi psikologis dalam hubungan fungsional yang sangat teratur
sesuai dengan ciri-ciri biologis manusia. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik.
Arah dan tujuan orang berolahraga termasuk waktu dan lokasi kegiatan
dilaksanakan sedemikian beragam. Ini menunjukkan bahwa olahraga merupakan
fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekspresi budaya, termasuk
dalam hal ini kecenderungan khas ideologi, profesi, organisasi, pendidikan dan
sains.
Fungsi
Ilmu Keolahragaan adalah mengkaji persoalan berdasarkan masalah yang telah
diidentifikasi dan mengungkapkan pengetahuan sebagai jawabannya secara ilmiah.
Berkaitan dengan objek formalnya, maka medan pengkajian Ilmu Keolahragaan
mencakup spektrum aktivitas pendidikan jasmani yang cukup luas, yang meliputi:
(1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam arti sport) (3)
pendidikan jasmani dan kesehatan (physical and health education), (4)
rekreasi (recreation and leisure), dan (5) tari (dance)
1.
Bermain
Johan
Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling
penting, yang merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni,
sampai ke hal-hal yang kurang menyenangkan dan kontroversial, seperti perang.
Dalam karyanya Homo Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang
menjadi tesis antropologis-filsafatinya), Huizinga (1950: 18-21) memaparkan
karakteristik bermain sebagai dorongan naluri, aktivitas bebas, dan pada anak
merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang amat mendasar
yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu
luang. Huizinga menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan
“nyata” dan kebebasan mewarnai aktivitas tersebut. Namun patut diingat bahwa
sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang “tak serius”,
tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau
habis-habisan (Huizinga, 1950: 21).
Huizinga
melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa ada
dalam inti kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern (Huizinga, dalam
Hyland, 1990: 23). Meskipun “tak serius”, di dalam permainan terdapat nilai
pendidikan, sehingga perlu dimanfaatkan sebagai upaya menuju pendewasaan
melalui pemberian rangsangan yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik,
mental sosial, dan moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan
perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang ingin dicapai tersirat di
dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas ‘bekerja’
(KDI Keolahragaan, 2000: 9-10).
b. Olahraga (Sport)
Istilah
olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga
pengetahuannya tidak terbatas pada pengertian sempit olahraga
prestasi-kompetitif-elit untuk sementara olahragawan yang pelaksanaannya
dikelola secara formal seperti lazim dijumpai pada cabang-cabang olahraga
resmi, tetapi juga jenis-jenis aktivitas jasmani lainnya yang bersifat informal.
Olahraga
sebagai kata majemuk berasal dari kata olah dan raga. Olah artinya upaya
untuk mengubah atau mematangkan, atau upaya untuk menyempurnakan.
Bisa juga olah diinterpretasikan sebagai perubahan bunyi istilah ulah,
yang berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan raga berarti badan/fisik.
Dengan demikian, secara etimologis singkat, olahraga berarti penyempurnaan atau
aktivitas fisik. Abdulkadir Ateng (dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45)
menganggap rancu jika kata olahraga ini dipadankan dengan kata asing sport.
Menurutnya, sport hanya sebagian dari isi pengertian olahraga. Ia
berasal dari bahasa Inggris Kuno disportare, yang berarti bersenang-senang
[bandingkan dengan Rusli dan Sumardianto (2000: 1) yang berpendapat bahwa
istilah sport berasal dari kata disport, dan pertama kali muncul
dalam kepustakaan pada tahun 1303 yang berarti “sport, past time,
recreation, and pleasure”]. Padanan sport yang lebih
mendekati aslinya adalah seperti istilah sukan di Malaysia (Indonesia:
bersuka-sukaan) (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45).
Makna
istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun esensi
pengertiannya mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan
kompetisi (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2). Dalam “Declaration of Sport”,
UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang menyiratkan betapa luas
kemungkinan cakupan makna olahraga:
Olahraga
adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan
melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri (dalam Rusli dan
Sumardianto, 2000: 6).
Definisi
lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga
sebagai aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan selama waktu luang”
merupakan interpretasi yang bersifat umum yang kemudian digunakan sebagai dasar
bagi sport for all – olahraga masal - yang dimulai di Eropa tahun 1966,
dan 27 tahun kemudian Indonesia mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan
olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Berbagai
definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu
argumentasi yang konsisten. Istilah olahraga yang dipakai sebagai rujukan
pengembangan Ilmu Keolahragaan adalah definisi yang bersifat umum, rumusan
pedagog asal Jerman, Herbert Haag yang memperoleh pengakuan internasional:
The world sport is not used in the narrow sense of athletics
of competitive sport, rather it means the sum of physical activities of formal
and informal nature realize mostly in sport discipliness but also in
fundamental forms like calisthenics, fitness training, or aerobics (Rusli dan Sumardianto, 2000: 7).
Olahraga
itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural, namun masyarakatlah
yang kemudian membentuk dan memberi arti terhadapnya. Sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, olahraga dapat dirinci sebagai berikut.
1. Olahraga pendidikan adalah proses
pembinaan menekankan penguasaan keterampilan dan ketangkasan berolahraga
termasuk juga pembinaan nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman
yang lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke
dalam olahraga.
2. Olahraga kesehatan adalah jenis
kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan
kesehatan dan fitnes yang tercakup dalam konsep well-being melalui
kegiatan olahraga.
3. Olahraga rekreatif adalah jenis
kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif
atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis.
4. Olahraga rehabilitatif adalah jenis
kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan yang bersifat
terapi atau aspek psikis dari perilaku.
5. Olahraga kompetitif adalah jenis
kegiatan olahraga yang menitikberatkan peragaan performa dan pencapaian
prestasi maksimal yang biasanya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik
nasional maupun internasional (KDI Keolahragaan, 2000: 10-11).
Karena
karakteristik olahraga semakin kompleks, selain mengandung muatan
bio-psiko-sosio-kutural-antropologis dan juga teknologis (techno-sport)
serta respon lingkungan (eco-sport), maka amat sukar menetapkan sebuah
batasan. Namun demikian dapat diidentifikasi ciri yang bersifat umum (common
denominator) sebagai berikut:
1. olahraga merupakan subsistem dari
bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;
2. olahraga berorientasi pada
dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan fisik;
3. olahraga merupakan kegiatan riil,
bukan ilusi atau imajinasi;
4. olahraga, terutama olahraga
kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi sehingga di dalamnya
terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai
lawan dari faktor untung-untungan sehingga performa itu dicapai melalui usaha
pribadi;
5. olahraga berlangsung dalam
suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan membangkitkan naluri
rendah, bahkan justru membangun solidaritas;
6. olahraga harus bermuara pada
upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total (wellness) (KDI
Keolahragaan, 2000: 11-12).
Secara khusus
dan ontologis, Richard Schacht (1998: 126-127) mengemukakan konsepsinya tentang
olahraga yang telah dimodifikasi dari pandangan-pandangan sang filsuf martir,
Nietzsche, yang pada bagian ini dapat dijadikan acuan tambahan pengembangan
Ilmu Keolahragaan.
1. Olahraga
menjadi aktivitas psikosomatik yang lepas dan terbuka di mana pikiran, tubuh,
dan perasaan seseorang terlibat secara serempak dalam berolahraga.
2. Olahraga
memuat sifat kognitif dan utilitarian meskipun tidak dalam kodrat dasariahnya.
3) Olahraga merupakan satu spesies permainan yang khas
dalam hal struktur dan intensitasnya.
4) Olahraga meliputi pengolahan dan pengembangan
kecakapan, keahlian, dan sensitivitas mental dan motorik, yang dapat diajarkan
dan dipelajari, tetapi tak dapat direduksi pada formula-formula dan
aturan-aturan mekanis.
5) Olahraga merupakan bagian fenomena sejarah dan budaya,
dan bersifat sosial dan interpersonal.
6) Olahraga berpusat pada suatu jenis kompetisi, yang
diilhami semangat “will to power”.
7) Olahraga memiliki kelenturan format perwujudan, namun
sekaligus ketertiban tingkat keseriusan.
Hasil
investigasi filsafati Scacht ini mengisyaratkan suatu keterbukaan ontologis
olahraga, dipandang dari filsafat ilmu. Artinya, ekstensifikasi dan
intensifikasi ilmiah dapat terjadi sampai pada interaksi yang bahkan revolutif
di tingkat ontologis, misalnya pergeseran objek studi. Apabila di penelitian
ini objek studi Ilmu Keolahragaan dibatasi pada fenomena gerak manusia, maka
seiring perkembangan teknologi olahraga dalam techno-sport, bisa jadi
pengabsahan-pengabsahan permainan yang sangat baru dengan instrumen teknologis
sebagai fokusnya, menghasilkan kesepakatan global tentang objek studi Ilmu
Keolahragaan yang baru. Objek studi Ilmu Keolahragaan kemudian tidak hanya
menyangkut gerak insani, namun juga prestasi piranti teknologi ciptaan “atlet”,
seperti yang dapat diamati pada perlombaan “Tamiya” di Indonesia akhir-akhir
ini. (Bukankah secara awam dan harfiah, pemaknaan gerak insani tidak tepat bila
digunakan pada olahraga catur dan bridge?).
c. Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Pendidikan
jasmani adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau
olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh
skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek
pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan
intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik,
mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, 2000: 12).
Perlu
ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap
jasmani, tetapi pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka
menterjemahkannya sebagai berikut.
…proses
interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani
yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya
(Sukintaka, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Sedangkan
dalam kaitannya dengan pendidikan secara nasional, berdasarkan SK Mendikbud
413/U/1987, maka definisi pendidikan jasmani adalah:
…merupakan
bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan
individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional melalui
aktivitas fisik (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Pendidikan
kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai
keterpaduan pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin
dicapai adalah kesehatan total, bukan dalam pengertian bebas dari cacat, tetapi
sehat fisik, mental, dan sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness.
Antara sakit dan sehat bukan sebagai sebuah dikotomi, tetapi sehat bergerak
dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi dari pendidikan kesehatan adalah untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI Keolahragaan,
2000: 12-13).
d. Rekreasi
Rekreasi
adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, bukan aktivitas survival,
yang diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani
atau kegiatan berolahraga. Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika
masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek pemulihan kelelahan,
relaksasi, atau penanganan stress untuk menggairahkan hidup agar lebih
produktif melalui relativitas energi dalam suasana kehidupan yang riang, tanpa
tekanan dan merasa bahagia, di samping memperoleh pengakuan dari lingkungan
sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan, 2000: 13).
e. Tari
Tari
menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan, sehingga dari
pengungkapan keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga.
Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa persyaratan seni atau faktor
estetika, meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak sekali
dijumpai unsur-unsur seni dan keindahan (KDI Keolahragaan, 2000: 13-14).